by: Jason Fernando
This commentaries was written with Indonesian
Memahami Konfigurasi Sistem Intrusif di Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan (LCS), yang meliputi area seluas 3,7 juta km² dan kedalaman rata-rata 525 meter, adalah wilayah strategis yang memainkan peran penting dalam ekonomi dan geopolitik global. Kawasan ini kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan minyak dan gas, serta menjadi jalur perdagangan utama dengan lebih dari 21% perdagangan global yang melaluinya, senilai sekitar US$3,37 triliun per tahun.
Namun, potensi ekonomi ini memicu ketegangan geopolitik, terutama dalam dekade terakhir, di tengah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok. Klaim Tiongkok atas hampir 80% LCS melalui "nine-dash line," yang mencakup Kepulauan Spratly dan Paracel, serta kawasan sekitar Macclesfield Bank dan Scarborough Schoal, memicu sengketa dengan negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei. Sengketa ini tidak hanya berakar pada kepentingan ekonomi, tetapi juga pada narasi historis dan identitas nasional masing-masing negara. Tiongkok memperkuat klaimnya dengan inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), pembangunan pangkalan militer di pulau-pulau reklamasi seperti Fiery Cross Reef, dan pengerahan kapal-kapal militernya di kawasan tersebut.

Ketegangan ini memunculkan dilema keamanan bagi negara-negara yang bersengketa, yang berusaha meningkatkan kapabilitas militer dan terlibat dalam perlombaan senjata untuk menjaga kepentingan nasionalnya. Beberapa akademisi Hubungan Internasional bahkan melihat Laut Cina Selatan sebagai "arena konflik tanpa akhir" dengan kemungkinan eskalasi menuju perang terbuka di masa depan. Namun, realitas empiris menunjukkan adanya anomali strategis: meskipun ketegangan terus meningkat, perang terbuka antar-negara belum terjadi.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui sistem intrusif yang membentuk keseimbangan kekuatan di kawasan, di mana postur militer yang semakin meningkat justru tidak serta-merta berujung pada konflik bersenjata. Dalam kajian geopolitik, sistem intrusif sebagaimana didefinisikan oleh Cantori dan Spiegel (1970) mengacu pada pola keterlibatan negara-negara kuat di luar kawasan dalam upaya menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power). Mekanisme ini mencerminkan bagaimana negara-negara besar memainkan peran strategis dalam politik, ekonomi, dan sosial-budaya kawasan tertentu, termasuk dalam sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Maya (2023) menegaskan bahwa meskipun tidak semua negara maju terlibat dalam sistem intrusif, setiap sistem intrusif pasti melibatkan negara-negara dengan kapabilitas militer yang unggul.
Dalam konteks Laut Cina Selatan, keterlibatan kekuatan eksternal, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok, membentuk sistem intrusif yang berdampak pada kalkulasi strategis negara-negara Asia Tenggara. Campur tangan aktor eksternal ini menghasilkan efek deterrence yang menekan kemungkinan eskalasi menuju perang terbuka, meskipun rivalitas tetap intens. Amerika Serikat memainkan peran utama dengan mempertahankan kebebasan navigasi dan mengamankan kepentingan strategisnya di kawasan, sebagaimana ditegaskan dalam UNCLOS 1982 Articles 2 and 3. AS melihat dominasi Tiongkok di LCS sebagai ancaman terhadap posisinya sebagai kekuatan global, sehingga membentuk kerja sama keamanan dengan negara-negara Asia Tenggara guna membendung ekspansi Beijing.
Sebagai respons terhadap klaim teritorial Tiongkok, AS memperkuat keterlibatannya melalui perjanjian keamanan bilateral dan multilateral, termasuk AUKUS (bersama Inggris dan Australia) serta The Quadrilateral Security Dialogue (dengan Australia, India, dan Jepang). Strategi ini tidak hanya bertujuan untuk membangun kemitraan militer, tetapi juga mendorong negara-negara Asia Tenggara meningkatkan anggaran pertahanan dan modernisasi alutsista guna menciptakan keseimbangan kekuatan.
Di sisi lain, Tiongkok sebagai kekuatan revisonis berupaya menyeimbangkan pengaruh AS dengan membangun kemitraan strategis di Asia Tenggara. Salah satu pendekatan Beijing adalah memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia melalui Defense Industry Cooperation Meeting, termasuk transfer teknologi dan pemasaran alutsista militer seperti rudal C-705 serta kapal perang Type 052D dan Type 039A Yuan Class. Langkah ini dilakukan selama kunjungan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, ke Indonesia pada 18 April 2024. Strategi ini bertujuan untuk memperluas pengaruh Beijing, yang dapat menandingi dominasi militer AS di kawasan.
Meskipun ketegangan di Laut Cina Selatan terus meningkat, dinamika sistem intrusif antara AS dan Tiongkok menghasilkan stabilitas relatif melalui mekanisme balance of power. Kompetisi strategis kedua negara tidak hanya membentuk konfigurasi keamanan di Asia Tenggara, tetapi juga menciptakan kondisi yang membuat kawasan ini tetap aman dari perang skala penuh (free from scale of war).
Dinamika geopolitik di Laut Cina Selatan lebih cenderung menciptakan pola kompetisi strategis yang dikendalikan, di mana aktor-aktor yang terlibat mempertahankan ketegangan tinggi tanpa mengarah pada konfrontasi militer skala penuh. Hal ini mencerminkan paradoks kedaulatan, di mana kepentingan nasional yang bertumpu pada klaim teritorial dan penguasaan sumber daya alam tidak selalu berujung pada eskalasi konflik yang bersifat destruktif. Oleh karena itu, sistem intrusif di Laut Cina Selatan bukan sekadar refleksi dari arena rivalitas dua kekuatan besar, tetapi juga instrumen geopolitik yang membentuk stabilitas kawasan dalam jangka panjang.
Studi Kasus: Menyoroti Sistem Intrusif Amerika Serikat terhadap Filipina di Tengah Ketegangan Laut Cina Selatan
Kehadiran sistem intrusif di Laut Cina Selatan merupakan konsekuensi dari konvergensi kepentingan strategis antara Amerika Serikat dan beberapa negara di Asia Tenggara dalam menghadapi ancaman ekspansi Tiongkok. Salah satu indikator utama dari sistem intrusif ini adalah kerja sama pertahanan, yang terefleksikan dalam keterlibatan Amerika Serikat melalui perjanjian Enhanced Defense Cooperation Management (EDCM) dengan Filipina. Perjanjian yang diperbarui pada Februari 2023 ini memungkinkan akses AS ke pangkalan militer Filipina dan investasi infrastruktur pertahanan lebih dari US$82 juta, bertujuan mengimbangi superioritas militer Tiongkok serta menjamin keamanan maritim Filipina.

Dalam dinamika regional, ketegangan di Laut Cina Selatan semakin meningkat dengan insiden seperti pada tanggal 23 Maret 2024, ketika tiga kapal pemotong Tiongkok dengan model CCG-3105 dan CCG-5303 menabrak dan menggunakan meriam air untuk menembak kapal patrol Filipina (BRP Bagacay dan BRP Datu Bankaw) di Scarborough Shoal. Insiden ini berlangsung saat kapal patroli Filipina berusaha memasok kebutuhan para nelayan Filipina yang beroperasi di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina. Perspektif Tiongkok menyebutkan bahwa insiden ini terjadi akibat manuver berbahaya kapal Filipina, sedangkan Filipina menilainya sebagai bentuk provokasi terhadap latihan militer Balikatan 2024 bersama Amerika Serikat.
Perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCM) merupakan kelanjutan dari EDCA 2014 dan Military Base Agreement 1947, yang memberi Amerika Serikat akses ke sembilan pangkalan strategis di Filipina. Dalam EDCM, Filipina mengizinkan AS mengakses lima pangkalan militer utama, termasuk Fort Magsaysay dan Basa Air Base. Selain itu, AS mengajukan tambahan empat pangkalan baru: Balabac Island, Camp Melchor Dela Cruz, Lal-lo Airport, dan Naval Base Camilo Osias, sehingga total pangkalan yang dapat diakses menjadi sembilan.
Isi perjanjian ini mencakup berbagai kesepakatan, antara lain, AS akan menempatkan pasukan dan peralatan militernya di kamp-kamp militer Filipina selama 30 tahun. AS juga akan memberikan hibah persenjataan kepada Armed Forces of the Philippines; serta melakukan patroli rutin dan latihan militer seperti Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) dan Balikatan Operation. Balikatan 2024, yang melibatkan lebih dari 16.000 pasukan, diselenggarakan di kawasan strategis Luzon Utara, Luzon Selatan, dan Wilayah Barat untuk menekan ekspansi maritim Tiongkok di Second Thomas Shoal.
Respons Filipina terhadap eskalasi ancaman Tiongkok tercermin dalam peningkatan anggaran pertahanan menjadi US$4,8 miliar pada tahun fiskal 2024. Investasi ini difokuskan pada modernisasi militer, termasuk pengadaan sistem rudal Typhon berkemampuan peluncuran Tomahawk dan SM-6 dari Amerika Serikat. Selain memperkuat kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan, EDCM juga memiliki implikasi lebih luas dalam melindungi Taiwan dari potensi serangan Tiongkok.
Kesimpulan
Kesimpulan ini menyoroti anomali keamanan di Laut Cina Selatan yang, meskipun mengalami peningkatan ketegangan dan persaingan kepentingan teritorial, belum mengarah pada perang terbuka antarnegara yang terlibat. Kehadiran Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai kekuatan luar kawasan telah menciptakan keseimbangan kekuatan, dengan aliansi pertahanan bilateral dan multilateral yang memperkuat modernisasi angkatan bersenjata negara-negara Asia Tenggara serta meningkatkan anggaran pertahanan dan latihan militer bersama. Selain itu, keterlibatan Amerika Serikat membantu meredakan kekhawatiran sebagian negara di Asia Tenggara terkait kehadiran militer Tiongkok di kawasan tersebut.
Namun, Tiongkok juga berupaya membangun fondasi keamanan melalui pendekatan non-use of force dan penyelesaian sengketa secara damai. Hal ini tercermin dalam kerja sama militer Tiongkok dengan Indonesia yang dipahami dalam konteks diplomatik tidak berpihak, mengingat Indonesia tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif, serta menjalin kerja sama dengan berbagai negara lainnya. Oleh karena itu, penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk mengedepankan pendekatan diplomatik guna memperkuat stabilitas regional.
Rekomendasi praktis yang dapat ditambahkan adalah perlunya negara-negara Asia Tenggara untuk terus mendorong diplomasi aktif, serta memperkuat kolaborasi regional guna mencegah eskalasi ketegangan lebih lanjut. Dengan pendekatan ini, kawasan dapat mempertahankan kestabilan politik dan keamanan tanpa terjebak dalam konflik terbuka, yang menjadi salah satu implikasi penting dari sistem intrusif yang ada di Laut Cina Selatan.
Referensi
Alenezi, D. A. (2024). US Rebalance Strategy to Asia and US-China Rivalry in South China Sea from the Perspective of the Offensive Realism. Review of Economics and Political Science, Vol. 9, No. 2, 102-115.
Army Recognition Group. (2024, 11 Juli). Philippines Ramps Up Defense Efforts Amid South China Sea Tensions. Diakses pada 11 Juli 2024: https://www.armyrecognition.com/news/army-news/army-news-2024/philippines-ramps-up-defense-efforts-amid-south-china-sea-tensions#:~:text=The%20defense%20budget%20for%20fiscal,billion%20pesos%20(%244.8%20billion)
Cantori, L. J., & Spiegel, S. L. (1970). The International Relations of Regions. Polity, Vol. 2, No. 4, 397-425.
Crescenzi, M. & Gent, S. (2021, 6 Mei). China’s Deep-Sea Motivation for Claiming Sovereignty Over the South China Sea. Diakses pada 10 Juli 2024, dari The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/05/chinas-deep-sea-motivation-for-claiming-sovereignty-over-the-south-china-sea/
Fan, Z. (2024). The Logic of the Marcos Jr. Government’s South China Sea Policy. Marine Policy, Vol. 167, 106248.
Galang, M. A. (2024, 18 April). A Decade On: EDCA and the Philippines–US Alliance. Diakses pada 11 Juli 2024, dari Rusi.org: https://www.rusi.org/explore-our-research/publications/commentary/decade-edca-and-philippines-us-alliance
Hidayat, A. R., Alifah, N., Rodiansjah, A. A., & Asikin, M. Z. (2024). Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis terhadap Perebutan Kekuasaan, Respon Regional, dan Implikasi Geopolitik. Jurnal Syntax Admiration, Vol. 5, No. 2, 579-591.
Lariosa, A. M. (2024, 30 April). China Coast Guard Attacks Philippine Ships Near Scarborough Shoal, Say Officials. Diakses pada 11 Juli 2024, dari USNI News: https://news.usni.org/2024/04/30/china-coast-guard-attacks-philippine-ships-near-scarborough-shoal-say-officials
Maya, A. J. (2023). Sistem Intrusif dan Kedaulatan. Jakarta: UKI Press.
Quyet, N. H. (2023). Chinese Strategy in the South China Sea: A Growing Quest for Vital Economic and Strategic Interests. World Affairs, Vol. 186, No. 3, 687-716.
Reyes, M. T. (2024, 5 Mei). Balikatan 2024: Membangun Interoperabilitas dan Kemitraan Multilateral Filipina-AS. Diakses pada 11 Juli 2024, dari Indo-Pacific Defense Forum: https://ipdefenseforum.com/id/2024/05/balikatan-2024-membangun-interoperabilitas-dan-kemitraan-multilateral-filipina-a-s/
Rusmuliadi, R. (2023). Non-Claimant States’ Perspectives on the South China Sea Dispute. Lampung Journal of International Law, Vol. 5, No. 1, 1-14.
Santoso, B. (2024, 24 April). Negara Barat Pergoki Rencana China Guyur Indonesia dengan Segudang Alutsista Canggih. Diakses pada 10 Juli 2024, dari Zona Jakarta: https://www.zonajakarta.com/nasional/67312498535/negara-barat-pergoki-rencana-china-guyur-indonesia-dengan-segudang-alutsista-canggih
VOA. (2024, 23 Maret). Chinese Coast Guard Hits Philippine Boat with Water Cannons; Crew Hurt. Diakses pada 11 Juli 2024: https://www.voanews.com/a/chinese-coast-guard-hits-philippine-boat-with-water-cannons-crew-hurt/7539925.html
Wang, K. (2024). Map Evidence for the Philippines’ Territorial Claim in the South China Sea: A Historical, Cartographical and Legal Analysis. The Pacific Review, 1-21.
Zha, W. (2023). Southeast Asia amid Sino-US Competition: Power Shift and Regional Order Transition. The Chinese Journal of International Politics, Vol. 16, No. 2, 241-261.
Disclaimer
This content is part of ISI Commentaries to serve the latest comprehensive and reliable analysis on International Relations, security, politics, and social-cultural in Indo-Pacific Region. Read more how to to submit it: https://www.isi-indonesia.com/write-for-us
Division: Foreign Policy and Public Diplomacy Division
About the writer

Jason Fernando is a student of International Relations at Universitas Kristen Indonesia and a Policy Researcher at the Green Economic Youth Organization. His research interests encompass International Politics, International Political Economy, International Development & SDGs, the South-South Framework, and the Green Economy
Comments