Direktur Eksekutif ISI pada Seminar Internasional dan Showcase Kapal Selam 2024
Pada 14-15 Mei 2024, Submariner Club Indonesia (SCI) menyelenggarakan seminar dan pameran internasional yang dibuka oleh Kepala Staf TNI AL Muhammad Ali dan disponsori oleh sekitar 9 (sembilan) produsen kapal selam dan vendor. Acara yang pertama di Indonesia ini dilaksanakan hanya sebulan setelah penandatanganan kontrak antara Kementerian Pertahanan RI dengan Naval Group Perancis pada bulan April lalu. Mengingat skalanya yang cukup besar, beberapa pihak mempertanyakan motif di balik penyelenggaraan acara tersebut. Tulisan ini akan membahas tiga hal: pertama, alasan mengenai mengapa teknologi kapal selam perlu dibicarakan di dalam forum diskusi internasional; kedua, rencana akuisisi kapal selam untuk TNI dan konsideran pentingnya; dan ketiga, variasi teknologi kapal selam yang diproduksi oleh sponsor kegiatan. Direktur Eksekutif ISI ikut hadir sebagai moderator acara bersama dengan Direktur Eksekutif National Air and Space Power Center of Indonesia (NASPCI) Janet D.E. Gibson.
Dalam pengadaan kapal selam, dibutuhkan dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan....
Kapal selam adalah salah satu teknologi yang memiliki nilai strategis karena menghasilkan efek daya tangkal (deterrence), baik sebagai senjata konvensional maupun senjata nuklir. Akan tetapi, setiap produk kapal selam memiliki tipe, bobot, tenaga, kemampuan menyelam, serta persenjataan yang berbeda untuk misi yang berbeda (intelijen, pengintaian, kekuatan pemukul, serta pencegat). Tidak semua kapal selam bisa dioperasikan secara maksimal dalam kondisi geografi yang berbeda dari negara produsen, terutama di sebagian besar wilayah laut Indonesia yang memiliki karakter laut dangkal. Dalam pengadaan kapal selam, dibutuhkan dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan untuk menyepakati faktor penting dari mulai kebutuhan misi, kondisi geografis, teknologi tepat guna; hingga kewajiban imbal dagang, kandungan lokal, dan ofset (IDKLO). Di Indonesia, salah satu perdebatan paling alot adalah sumber tenaga kapal selam, apakah sebaiknya memilih teknologi air independent propulsion (AIP) atau baterai lithium atau hibrida yang menggabungkan keduanya.
Bagi kru kapal selam, persoalan keselamatan menjadi salah satu konsideran utama. Hal ini karena kondisi operasi kapal selam lebih menyerupai kondisi pesawat di angkasa daripada kapal perang permukaan. Pengalaman pahit tenggelamnya Nanggala menjadi pelajaran berharga bahwa kepemilikan wahana penyelamat kapal selam tidak bisa disubstitusi dengan kesepakatan bantuan alat dari negara tetangga. Dalam hal tersebut, Indonesia tertinggal jauh dari operator kapal selam Asia lainnya. Sebagai contoh, India mengadakan kapal penyelamat hampir berbarengan pengadaan kapal selam pertama pasca kemerdekaan, yakni Project-641 di tahun 1967. Di Asia Tenggara, Singapura membeli kapal selam Sjoormen sejak tahun 1997 dan kapal penyelamat menyusul pada tahun 2009. Adapun Malaysia yang baru mengadakan kapal selam Scorpene pada tahun 2009, langsung membeli kapal penyelamat di tahun 2013.
Dalam konteks Indonesia, kebutuhan penyelamat kapal selam baru masuk dalam rencana modernisasi Minimum Essential Forces 2019-2024. Padahal Indonesia sudah tiga kali melakukan pengadaan kapal selam. Pertama, Type 209/1300 dari Jerman pada tahun 1981. Kedua, Type 209/1400 dari Korea Selatan pada tahun 2017 melalui kerjasama alih teknologi yang terbagi ke dalam dua tahapan kontrak. Namun pada 2024 Indonesia memilih untuk tidak melanjutkan kontrak kedua dengan Korea Selatan dan menandatangani kontrak pengadaan ketiga dengan Naval Group untuk teknologi Scorpene evolved. Pada tahun 2031 jumlah kapal selam Indonesia akan menjadi 7 (tujuh)—yang terbanyak di antara operator Asia Tenggara. Saat ini, Kementerian Pertahanan merencanakan pengadaan tambahan 2 (dua) kapal selam, satu kapal penyelamat, dan satu kapal selam nirawak. Pada 2023, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan kapal penyelamat kapal selam dengan Inggris namun sampai Mei 2024 kontraknya belum efektif.
Baca lebih lanjut: Pembelian Kapal Selam Scorpene Indonesia
Bagi pemangku kebijakan Indonesia, ada beberapa tantangan terkait dengan pengadaan teknologi kapal selam ke depan.
Bagi pemangku kebijakan Indonesia, ada beberapa tantangan terkait dengan pengadaan teknologi kapal selam ke depan. Pertama, jurang kebutuhan antara rencana MEF (12 kapal selam) dengan realita (tujuh kapal selam)- yakni kekurangan 5 (lima) kapal selam. Kedua, delivery Scorpene baru rampung dalam 7 (tujuh) tahun ke depan sehingga memunculkan aspirasi untuk kapal selam “interim” yang perlu dikaji secara mendalam urgensi dan biayanya. Ketiga, mitigasi potensi denda dari proses arbitrase internasional yang diakibatkan dari pembatalan kontrak dengan DSME Korea. Keempat, tantangan adopsi doktrin baru pengoperasian kapal selam yang berawak dengan yang tidak berawak.
Memang tidak semua hal yang disebut di atas dibahas secara tuntas dalam seminar yang diadakan. Terdapat sebagian isu yang perlu diselesaikan secara terbatas dalam lingkup TNI Angkatan Laut dan Kementerian Pertahanan, bukan di depan mitra internasional. Meski demikian, seminar dan pameran internasional kapal selam ini layak mendapat apresiasi. Pertama, acara direncanakan oleh mantan kru kapal selam di bawah naungan SCI dan dieksekusi dalam 4 (empat) bulan saja tanpa menggunakan APBN. Kedua, acara ini dihadiri oleh target peserta dan mendapat dukungan penuh dari calon mitra—bahkan dari Naval Group Perancis yang sudah mengantongi kontrak pengadaan. Ada harapan acara serupa bisa diadakan untuk teknologi-teknologi canggih lainnya. “Old soldier never die, they just fade away” adalah adagium yang pas untuk disematkan pada SCI.
Perusahaan | Negara | Tipe Kapal Selam | Jumlah Kru | Displacement (ton) | Propulsion | Endurance (days) | Depth (m) | Maximum Speed on submerged (kn) | Maximum Speed on surface (kn) | Weaponry | Operator |
Naval Group | Perancis | Scorpene Evolved | 31 | 2000 | LiB and Diesel | 80 | 300 | 20 | 11 | 6x torpedo tubes, 18 total weapon payload for heavyweigh torpedo, sub-launched anti-ship missile, and mines | - |
Naval Group | Perancis | Scorpene (AM-2000) | 31 | 2000 | AIP and Diesel | 71 | 300 | 20 | 11 | 6x torpedo tubes, 18 total weapon payload for heavyweigh torpedo, sub-launched anti-ship missile, and mines | - |
Naval Group | Perancis | Scorpene (CM-2000) | 31 | 1700 | Diesel Electric | 50 | 300 | 20 | 11 | 6x torpedo tubes, 18 total weapon payload for heavyweigh torpedo, sub-launched anti-ship missile, and mines | Chile, Brazil Malaysia, India, |
Thyssenkrupp | Jerman | Type 212 | 27 | 1800 | AIP and Diesel | 84 | 250 | 20 | 12 | 6x torpedo tubes, 13 total weapon payload for heavyweigh torpedo, sub-launched missile, and mines | Jerman, Italia |
Thyssenkrupp | Jerman | Type 212NFS | 27 | 1800 | LiB, AIP and Diesel | improved from previous model | 250 | 20 | 12 | 6x torpedo tubes, 13 total weapon payload for heavyweigh torpedo, sub-launched missile, and mines | Italia |
Thyssenkrupp | Jerman | Type 214 | 27 | 1800 | AIP and Diesel | 84 | 250 | 20 | 12 | 8x torpedo tubes, heavyweight torpedo, sub-launched missile, and mines | Turki, Yunani, Korsel, Portugal |
Thyssenkrupp | Jerman | Type 218 | 28 | 2000 | AIP and Diesel | ? | ? | 20 | 10 | 8x torpedo tubes, heavyweight torpedo, sub-launched missile, and mines | Singapura |
Fincantieri | Italia | Built Type 212 and Type 212NFS for Italian Navy | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | Italia |
STM | Turki | STM500 | 22 | 500 | LiB and Diesel | 30 | 200 | 18 | N/A | 4x torpedo tubes, 4 spares for torpedo, heavyweight torpedo, and missile | N/A |
Larsen & Toubro | India | SOV400 | 10 | 500 | Diesel Electric | 21 | 100 | 10 | 6 | 2x heavyweight torpedo externally | N/A |
Larsen & Toubro | India | SOV | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A | N/A |
Sumber: Open sources
***
Part of Defence Policy and Strategic Division
Comments