Written by :
Gabriel Durah
Pada tanggal 27 Juli 2023, Korea Utara menggelar parade militer di lapangan Kim Il Sung sebagai peringatan kemenangan dalam “Perang Pembebasan Tanah Air” yang mengakhiri konfliknya dengan Korea Selatan. Parade militer yang ditampilkan dalam peringatan ini sekaligus menjadi pesan kepada dunia tentang kemajuan militer dan kemampuan nuklir yang dimilikinya. Kehadiran dua pejabat tinggi Rusia dan Cina yang berdiri di samping Kim Jong-un selama berlangsungnya parade telah menegaskan kedudukan Korea Utara di dalam tatanan kekuatan global, sebuah aksi yang memberikan ancaman terhadap stabilitas dan menggambarkan strategi deterensi yang kompleks di tengah kondisi geopolitik yang kian memanas.
Read more: Putin in Pyongyang: Implications for Bilateral Ties and Global Security https://www.isi-indonesia.com/post/putin-in-pyongyang-implications-for-bilateral-ties-and-global-security
Di dalam sistem internasional yang anarkis, program nuklir Korea Utara merupakan upaya untuk memaksimalkan kapabilitasnya dalam memperoleh kekuatan sebagai jaminan keamanan nasional. Menghadapi intervensi kekuatan besar, negara harus memiliki kapabilitas militer untuk memberikan perlawanan didalam perang konvensional dan menimbulkan dampak signifikan pada negara dominan (Levy, 2014). Apabila Korea Utara berhasil mencapai superioritas nuklir atas semua saingannya, negara tersebut akan menjadi sangat kuat dan menjadi satu-satunya kekuatan besar dalam sistem dan mengganggu stabilitas internasional.
Kemunculan ancaman nuklir di semenanjung korea menimbulkan pertanyaan penting: Bagaimana program nuklir Korea Utara dan respon dari kekuatan besar mempengaruhi stabilitas global? tulisan ini akan mengeksplorasi dinamika kompleks yang menghubungkan ambisi nuklir Korea Utara dan respon kekuatan besar, serta Kedudukan Indonesia dalam upaya mencapai solusi damai yang berkelanjutan.
Program Nuklir korea
Program nuklir Korea Utara sejak akhir tahun 1950-an telah menimbulkan berbagai kontroversi, diawali dengan bantuan yang diberikan Soviet pada tahun 1960-an, Korea Utara membangun kemampuan nuklirnya dan memicu krisis besar pertama pada tahun 1993, ketika negara ini memutuskan untuk keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT). Ketegangan sempat mereda dengan adanya penandatanganan Agreed Framework 1994 antara Amerika Serikat dan Korea Utara dengan jaminan bantuan energi dan pembangunan reaktor air ringan. Namun, tepatnya pada tahun 2002, tuduhan AS yang menyatakan Korea utara melakukan pengembangan program pengayaan uranium rahasia kembali memperburuk situasi. Puncaknya terjadi di tahun 2006, ketika Korea Utara melakukan uji coba nuklirnya dan memicu kencaman dan sanksi internasional.
Berdasarkan data dari CNS, dalam rentang tahun 1984-2024 terdapat 264 uji coba nuklir oleh Korea Utara. Data tersebut menampilkan total peluncuran yang berhasil dilakukan sebanyak 194 uji coba, dengan tingkat keberhasilan paling banyak terjadi di tahun 2022 (42 peluncuran) dan tahun 2023 (21 peluncuran). Terdapat 36 peluncuran yang mengalami kegagalan dan paling banyak terjadi di tahun 2016 (10 peluncuran). Sementara 34 data uji coba lainnya, masih belum diketahui hasilnya. Dari total peluncuran nuklir Korea Utara, mayoritas uji coba menunjukan perkembangan yang signifikan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan kegagalan yang rendah.
Respon Kekuatan Besar
Korea Utara yang tidak terikat pada ketentuan NPT, telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengembangan nuklir, situasi ini menjadi serius dan melahirkan berbagai respon internasional. Beberapa negara mendukung program Korea Utara dengan motif politik tersembunyi, sementara negara lain mengutuk keras dan mengambil tindakan untuk membatasi kemampuan nuklir Korea Utara.
Dukungan Rusia menjadikan program nuklir Korea Utara sebagai pengalihan untuk menggeser fokus Amerika Serikat yang selama ini menghalangi ambisi Rusia di Ukraina dan Eropa Timur. Pada tanggal 19 Juni 2024, Rusia dan Korea Utara memperkuat hubungan diplomatik di antara kedua negara. Melalui Treaty on Comprehensive Strategic Partnership keduanya sepakat untuk meningkatkan Kerjasama di bidang politik, militer dan ekonomi. Perjanjian ini memuat dua aspek yang menimbulkan kekhawatiran. Pertama, pada pasal 4, kedua belah pihak diwajibkan untuk “memberikan bantuan militer dan bantuan lainnya” dalam menanggapi “invasi bersenjata dari satu negara atau beberapa negara.” Yang kedua, adalah pernyataan Putin yang mengancam akan menggunakan ketentuan dalam pasal 4 sebagai respon jika Barat terus mempersenjatai Ukraina. Perjanjian ini bukan saja memperkuat aliansi strategis di antara kedua negara, tetapi memperburuk ketegangan internasional dengan tidak berdayanya Barat dalam menentukan kedudukannya terhadap ancaman pengembangan nuklir dan intervensinya dalam konflik yang terjadi di Ukraina.
Bersamaan dengan terjalinnya hubungan strategis di antara Rusia dan Korea Utara, Cina merespon dengan tetap berada pada posisi ambivalensi. Seperti yang dijelaskan oleh Yun Sun, Direktur Program China di Stimson Center, Washington, "Until there is a clear development and policy that challenges China’s position, I’d say China is willing to sit aside and see how things go." Meskipun Cina merupakan mitra ekonomi terbesar bagi Korea Utara, dan memiliki perjanjian dalam bidang pertahanan sejak tahun 1961 (tidak pernah dilaksanakan), Cina sangat berhati-hati menyikapi situasi ini. Perhatian barat yang tertuju pada perjanjian yang dibentuk Rusia dan korea Utara berpotensi untuk mempengaruhi persepsi aliansi barat terkait keterlibatan Cina sebagai pihak ketiga. Prioritas Cina adalah menjaga kestabilan ekonominya melalui hubungan dagang dengan Jepang, Korea Selatan, serta Amerika Serikat dan sekutunya yang merupakan mitra dagang terbesar Cina. Hubungan Rusia dan Korea Utara tentunya akan mengganggu kestabilan Cina apabila relasi ini mengarah pada perilaku provokatif.
Sebaliknya, reaksi keras datang dari Amerika Serikat dan sekutunya di Asia. Pernyataan Kim Jong-Un di parlemen Pyongyang pada tanggal 1 Januari 2024, menunjukan komitmennya untuk meninggalkan upaya penyatuan damai dengan Korea Selatan dan menghapus gagasan kenegaraan bersama. Menurut Kim, Korea Selatan tidak lebih dari antek kolonial Amerika Serikat. Kim juga menegaskan kepada militernya untuk bersiap terhadap kemungkinan perang yang menurutnya tidak bisa dihindari lagi. Menyikapi pernyataan Kim yang semakin agresif, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang mengadakan Latihan gabungan “Freedom Edge,” pada tanggal 27-29 Juni 2024. Korea Utara menyikapi latihan gabungan yang dilaksanakan di dekat perairan Korut sebagai provokasi militer yang berbahaya dan ancaman langsung terhadap keamanan negara mereka. Dalam beberapa pernyataan resmi, Korea Utara menilai aksi ini sebagai tindakan permusuhan dan mengecam akan mengambil Langkah balasan yang tegas. Aksi AS dan sekutu yang mengadakan pelatihan gabungan menunjukan sebuah sinyal kesiapan mereka dalam menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara dan Rusia.
Bagaimana Situasi Akan Berlanjut ?
Dinamika program nuklir Korea Utara telah mencapai titik kritis. Dengan kapabilitas nuklir yang menunjukan perkembangan signifikan dan bebas dari ketentuan NPT, Korea Utara telah memperkuat posisi strategisnya dalam persaingan global. keterlibatan berbagai kekuatan besar dengan berbagai kepentingan politiknya menimbulkan respon yang beragam dari berbagai negara. Dukungan Rusia dan sikap ambivalensi Cina terhadap Korea Utara telah berhasil melemahkan sanksi PBB dan memperkuat kedudukan Korea Utara untuk bersikap lebih agresif lagi. Sementara itu, reaksi AS dan sekutunya di Asia, yang melibatkan latihan gabungan di dekat perairan Korea Utara justru menimbulkan provokasi dan melahirkan ancaman baru dari Korea Utara yang merasa terancam.
Untuk menangani situasi yang semakin memanas terkait Korea Utara, Indonesia dapat memainkan peran kunci sebagai mediator dengan mendorong langkah-langkah strategis yang dirancang untuk melemahkan posisi Korea Utara secara efektif. Salah satu rekomendasi utama adalah mengusulkan penghentian intervensi Barat terhadap Ukraina, yang telah memicu keterlibatan Rusia dalam memperkuat aliansinya dengan Korea Utara. Dengan mengganti pendekatan diplomasi damai ke Rusia dan Ukraina, Rusia akan kehilangan insentif untuk mendukung program nuklir Korea Utara dan mempertahankan perjanjiannya dengan negara tersebut. Mengingat ketergantungan Korea Utara pada dukungan ekonomi dari Rusia dan China, langkah ini juga akan mempengaruhi dinamika internasional yang lebih luas. Tanpa dukungan yang kuat dari Rusia dan China, sanksi PBB terhadap Korea Utara akan lebih efektif, memaksa negara tersebut untuk meninjau kembali kebijakan agresifnya. Indonesia, sebagai negara yang memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan berbagai pihak dan komitmen terhadap penyelesaian damai, dapat mengambil inisiatif dalam forum-forum internasional untuk mengadvokasi diplomasi sebagai jalan keluar dari krisis ini. Pendekatan ini tidak hanya akan menurunkan ketegangan regional tetapi juga berkontribusi pada stabilitas global yang lebih luas.
Disclaimer
This content is part of ISI Commentaries to serve the latest comprehensive and reliable analysis on International Relations, security, politics, and social-cultural in Indo-Pacific Region. Read more how to to submit it: https://www.isi-indonesia.com/write-for-us
Related to
Foreign Policy and Public Diplomacy Division
About the Writer
Gabriel Durah Langoday holds a Bachelor's degree in Applied Government Science from Institut Pemerintahan Dalam Negeri. His interests include politics, humanitarian issues, foreign policy, and the geopolitical implications of great power competition in Asia. He is currently working at the Regional Revenue and Asset Agency in East Nusa Tenggara
Sangat menarik melihat potensi kekuatan Korea Utara dan dampaknya terhadap stabilitas global, khususnya di kawasan Asia. Menurut saya, kondisi Korea Utara yang sangat berambisi untuk mengembangkan kekuatan nuklirnya hanyalah upaya untuk menjaga kedaulatan negaranya dari intervensi asing yang menganggu berkuasanya rezim di negeri tersebut. Hal ini juga terlihat dari masih langgengnya kekuasaan rezim di negeri tersebut terlepas dari banyaknya kasus kontroversial yang terjadi karena tidak ada pihak asing yang berani bermain main dengan nuklir Korea Utara, dan juga Rusia yang berada di belakangnya sebagai sekutu dekat.
Jika ditinjau secara geopolitik, bagi Rusia pengembangan kekuatan nuklir Korea Utara sangatlah menguntungkan, karena jika dilihat selama ini Rusia memanfaatkan Korea Utara tidak hanya sebatas sekutu dekat namun juga sebagai,"bufferzone" untuk menjaga Rusia dari…