Penulis: Yolanda Purnama Sari Damanik
Menduduki peringkat kedua setelah Kanada sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, 81.290 km, Indonesia merupakan harta karun alam yang tidak hanya menawarkan keindahan, tetapi juga potensi ekonomi laut yang menakjubkan. Kendati demikian, di balik kekayaan pada lautan biru, tersembunyi ironi yang memilukan: pasir, salah satu komoditas kekayaan alam yang menjadi fondasi pembentuk pantai-pantai Indonesia, diperjual-belikan untuk membangun negara tetangga. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apa konsekuensi yang ditimbulkan dari perdagangan pasir ini, dan apa yang sedang dipertaruhkan Indonesia bagi masa depan ekosistem serta kedaulatan maritim?
Setelah kurang lebih dua dekade dihentikan, Indonesia kembali membuka peluang ekspor pasir pantai dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 pada Mei 2023 oleh Presiden Jokowi. Hal ini diikuti dengan turunan peraturannya yang disahkan setahun kemudian, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20 Tahun 2024 dan Permendag No. 21 Tahun 2024. Pasal 9 pada PP 26/2023 secara khusus menjelaskan, bahwa selama kebutuhan di Indonesia sudah terpenuhi, Indonesia dapat mengekspor pasir laut yang asalnya dari pembersihan sedimentasi laut.
Alasan Pemerintah dalam membuka ekspor pasir laut
Pemerintah tentu memiliki alasan kuat di balik keputusan untuk kembali membuka ekspor pasir laut. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan (KPP), Sakti Wahyu Trenggono, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga mendukung kegiatan reklamasi pulau-pulau di dalam negeri. Sebelum peraturan ini diberlakukan, pasir untuk reklamasi lebih sering diambil langsung dari pulau-pulau yang ada di dalam negeri, alih-alih memanfaatkan pasir hasil sedimentasi alami. Dengan kebijakan baru ini, diharapkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan reklamasi tanpa merusak ekosistem pulau-pulau yang ada.
Presiden Joko Widodo juga turut menyampaikan hal serupa. Dalam wawancaranya dengan Kompas (18/09/2024) di Menara Danareksa, Presiden menegaskan bahwa yang dieskpor adalah sedimen, bukan pasir laut yang secara langsung diambil dari dasar laut. Beliau menjelaskan bahwa ekspor sedimen ini tak hanya membantu mengendalikan volume sedimentasi yang menumpuk, tetapi juga berperan penting dalam membersihkan jalur pelayaran, sehingga menjaga kelancaran arus transportasi laut di perairan Indonesia.
Ungkapan keraguan hadir dari sejumlah akademisi, salah satunya Romi Hermawan, seorang ahli ekologi dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan. Pada Selasa, 13 Juni 2023 dalam diskusi virtual Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), beliau mempertanyakan apakah nilai ekonomi hasil sedimentasi sejalan dengan kebutuhan reklamasi Singapura.
Keraguan ini sejalan dengan hasil riset ilmiah yang dilakukan oleh Physical Geography University of Sakatchewan tahun 2019, yang menyatakan bahwa sedimen yang disebutkan oleh Sakti Wahyu Trenggono selaku Menteri KPP bukanlah bahan baku yang diperlukan oleh Singapura untuk reklamasi. Hasil riset juga menegaskan bahwa, pasir laut yang cocok untuk konstruksi reklamasi harus bertekstur kasar yang ditambang langsung dari dasar laut atau pantai.
Padahal sejak masa kepemimpinan Megawati, kegiatan ekspor pasir ini sudah dihentikan karena dinilai merusak lingkungan, merusak bentuk pulau-pulau kecil dan mengaburkan batas-batas maritim. Walaupun sudah dilarang, ekspor pasir secara ilegal masih juga ditemukan. Menurut data trademap.org, pada rentang tahun 2004-2007, setiap tahunnya terdapat kurang lebih 3 juta ton volume pasir yang diekspor Indonesia ke luar negeri. Singapura sebagai importir terbesarnya, membeli 2,8 juta ton volume pasir dengan transaksi sebesar US$ 5,5 juta pada tahun 2004.
Besarnya volume pembelian pasir ini terus naik hingga menyentuh angka 3,2 juta ton atau setara dengan US$ 6,4 juta di tahun 2006. Penurunan signifikan ekspor pasir mulai terjadi pada tahun 2007-2009. Tahun 2010 menjadi awal terjadinya penghentian ekspor pasir ke luar negeri, dan fenomena ini bertahan hingga tahun 2022.
Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura sedang menjalankan mega proyek fase ketiga dari Pelabuhan Tuas, yang diklaim akan menjadi pelabuhan peti kemas terbesar di dunia.
Sebenarnya, apa alasan Singapura begitu membutuhkan pasir dari Indonesia? Mengutip dari Harian Kompas, sejak tahun 1997, Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura sedang menjalankan mega proyek fase ketiga dari Pelabuhan Tuas, yang diklaim akan menjadi pelabuhan peti kemas terbesar di dunia. Dengan lahan Singapura yang sempit, pelabuhan ini rencananya akan dibangun di atas tanah reklamasi. Untuk mampu membangun sebuah tanah baru di atas kedalaman Selat Malaka, dibutuhkan begitu banyak pasokan pasir.
Malaysia sebagai pemasok terbesar pasir untuk Singapura, memutuskan untuk menghentikan kegiatan ekspornya di tahun 1997. Hal ini didasari oleh ketidaksepakatan soal harga air bersih dengan Singapura. Kejadian ini menjadi awal bagi Singapura berpindah ke Indonesia sebagai pemasok pasir terbesarnya.
Menurut Fahmy Radhy, pengamat ekonomi dan energi UGM, Indonesia mengekspor pasir ke Singapura hanya untuk memenuhi kebutuhan reklamasi lahan. Selain itu, faktor kedekatan geografis juga memberikan keuntungan bagi Singapura karena dapat menekan biaya transportasi.
Sejak tahun 1996, sebenarnya Indonesia sudah menjadi salah satu pemasok pasir untuk Singapura, terutama pasir dari Kepulauan Riau. Kebijakan ini dianggap ironis oleh sebagian besar akademisi karena berpotensi untuk menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia, sedangkan negara lain semakin luas dengan hasil eksploitasi pasir tersebut.
Untung atau rugikah Indonesia dalam kegiatan ekspor pasir ini?
Untung atau rugikah Indonesia dalam kegiatan ekspor pasir ini? Menurut riset yang dilakukan oleh CELIOS, sebuah lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik, mengungkapkan bahwa kerugian ada di pihak Indonesia sebagai pemasok. Jika mempertimbangkan dampak tidak langsung ke seluruh sektor usaha, estimasi menunjukkan bahwa pendapatan negara hanya akan bertambah sebanyak Rp170 miliar. Keuntungan lainnya juga dirasakan oleh pengusaha di bidang ekspor pasir yang diperkirakan akan menerima keuntungan sebesar Rp520 miliar.
Kendati demikian, keuntungan ini dinilai tidak sebanding dengan penurunan Produk Domestik Bruto yang akan dialami negara hingga Rp1,22 triliun, kerugian produksi perikanan hingga Rp1,8 triliun dan penurunan pendapatan masyarakat yang berada di sekitar daerah pengerukan pasir laut mencapai Rp1,21 triliun. Output ekonomi negara juga beresiko terkena dampak negatif dari kegiatan ini. Pendapatan yang diperoleh negara dari pajak tidak cukup untuk menutupi total kerugian yang diakibatkan oleh penurunan ekonomi, yang diestimasi mencapai Rp1,13 triliun, mengutip dari Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS.
Pada Tempo, anggota Komisi IV Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet juga menyampaikan keraguannya atas kemampuan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan ekspor pasir laut terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini disebabkan oleh pengawasan KPP yang dinilai masih lemah. Penilaian ini bukan tanpa alasan, sebab penambangan ilegal dan pencurian pasir laut bukanlah hal baru di Indonesia. Fenomena ini bahkan sudah terjadi sejak larangan pengambilan pasir laut disahkan pada tahun 2004. Sejarah tersebut terulang kembali baru-baru ini. menurut perhitungan CELIOS, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 925,2 miliar akibat pencurian pasir yang ditujukan untuk Singapura.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL), Viktor Gustaaf Manoppo menambahkan bahwa kerugian tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Terdapat sejumlah kerugian lain yang harus ditanggung Indonesia, diantaranya: izin pertambangan, izin PKPRL, izin ekspor, bea keluar serta kerugian ekologi yang masih ditelurusi lebih lanjut oleh pemerintah.
Bagaimana jika ditinjau dari sisi lingkungan? Daerah penambangan tentu mengalami sejumlah kerugian ekologi, diantaranya: bagian laut yang ditambang akan mengalami perubahan bentuk yang berujung pada erosi pantai, perubahan arah aliran air, dan kerusakan ekosistem laut yang berakhir dengan menurunnya jumlah ikan tangkap (Zhong, 2024). Kondisi ini secara langsung mempengaruhi perekonomian masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Kerusakan ekosistem laut dalam jangka panjang tidak dapat dielakkan. Hal ini akan berdampak pada potensi Blue Carbon yang dimiliki Indonesia. Dari keseluruhan dunia, Indonesia ditaksir menyimpan 17 persen potensi blue carbon dunia atau setara dengan 3,4 Giga ton. Potensi ini jauh lebih besar peluang untungnya jika pemerintah mengambil langkah pemaksimalan kredit karbon sebesar US$65 miliar, dibandingkan dengan mengeksploitasi pasir laut.
Hal lain yang dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dengan memanfaatkan sektor pariwisata laut. Berdasarkan data dari Fortune Business Insight, ecotourism Indonesia pada tahun 2032 diestimasikan bernilai US$759. Dari semua potensi ekonomi biru yang dimiliki Indonesia, menambah pendapatan negara melalui eksploitasi pasir laut merupakan sebuah kekeliruan konsepsi yang merugikan negara (Celios, 2024).
Referensi
Huda, N dan Adhinegara, B. (2024). Siapa Untung Ekspor Pasir Laut?: Dampak Ekonomi dan Lingkungan Regulasi Pasir Laut. Report. Akses: www.celios.co.id
Idris, Muhammad. (2024). Cek Fakta Ucapan Jokowi, Pasir Laut atau Sedimen yang Boleh Diekspor?
Kompas. com. Accessed October 31, 2024. https://money.kompas.com/read/2024/09/18/090446026/cek-fakta-ucapan-jokowi-pasir-laut-atau-sedimen-yang-boleh-diekspor.
Fortune Business Insights. (2024). Ecotourism Market Size, Share & Industry Analysis, By Type (Nature & Wildlife Tourism, Agro-tourism, and Others), By Traveler Type (Solo and Group), By Booking Mode (Travel Agents and Direct), By Age Group (Generation X, Millennials, and Generation Z), and Regional Forecast, 2024-2032. Accessed October 16 2024. https://www.fortunebusinessinsights.com/ecotourism-market-108700
Nurani, Sukma K. (2024). Indonesia Buka Lagi Ekspor Pasir Laut ke Singapura, Pakar Sebut Bisa Ancam
Kedaulatan. Tempo.co. Accesed October 16, 2024.
https://bisnis.tempo.co/read/1928407/indonesia-buka-lagi-ekspor-pasir-laut-ke-singapura-
pakar-sebut-bisa-ancam-kedaulatan
Sanjaya, Yefta. (2024). Kronologi Kapal Singapura Ketahuan Curi Pasir Laut di Perairan Batam, Indonesia
Rugi Ratusan Miliar. Kompas.com. Accesed October 31, 2024. https://www.kompas.com/tren/read/2024/10/12/153000465/kronologi-kapal-singapura-ketahuan-curi-pasir-laut-di-perairan-batam?page=2
Trade Map. (2024). Bilateral trade between Indonesia and United Kingdom in 2023 Product: 03 Fish and
crustaceans, molluscs and other aquatic invertebrates. Accessed October 10, 2024. https://www.trademap.org/Bilateral.aspx?nvpm=1%7c360%7c%7c826%7c%7c03%7c%7c%7c4%7c1%7c1%7c1%7 c1%7c%7c1%7c1%7c%7c1
Zhong, J. (2024). Suitability analysis of sea sand mining in guangdong province based on subjective and objective weighting method. https://doi.org/10.1117/12.3024828.
Disclaimer
This content is part of ISI Commentaries to serve the latest comprehensive and reliable analysis on International Relations, security, politics, and social-cultural in Indo-Pacific Region. Read more how to to submit it: https://www.isi-indonesia.com/write-for-us
Under: Defence Economic Division
Yolanda Purnama Sari Damanik holds a bachelor’s degree in Applied Government Science from the Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Her research interests include politics, democracy, and public policy.
Comentários